Rabu, 17 November 2010

Pilkada dan Politik Moral di Tangsel

Studi Kasus: Pilkada Tangerang Selatan
RUDY GANI
Aktivis HMI BADKO JABOTABEKA BANTEN

Demokrasi memang memberikan kebebasan bagi seluruh rakyat. Namun, demokrasi tentu dibatasi dengan nilai-nilai. Tanpa adanya pembatasan terhadap nilai, utamanya moral individu tersebut, demokrasi justru akan tersesat dalam kegamangan karena moral pemimpin yang buruk.

Pertanyaanya, sejauh manakah masyarakat menganggap nilai moral sebagai sebuah hal mendasar? Jika, ditengah kemilau politik transaksional yang mengedepankan uang dan proyek mengemuka di masyarakat. Mampukah rakyat mengedepankan rasionalitas dalam memilih pemimpin bagi daerah mereka?

Dalam konteks pilkada Tangerang Selatan (Tangsel) misalnya. Kita mengetahui bahwa pola kepemimpinan dan sekaligus gaya politik Tangsel stagnan pada pencerahan. Fakta politik dinasti dan bagi-bagi ’proyek’ untuk lingkaran terdekat—adalah bukti jika hari ini gaya politik Tangsel kurang bermoral.

Padahal, pemikiran dasar pemekaran daerah Tangsel justru ingin menyudahi prilaku politik seperti itu. Sayangnya, dalam perjalanan, prilaku politik dan cita-cita yang diharapkan, dibajak oleh oknum penguasa yang tidak ingin gaya politik seperti itu selesai.

Maka, tidak heran jika hari ini Tangsel menghadapi persoalan serius akibat pembajakan politik tersebut. Masyarakat Tangsel dihadapkan pada persoalan prilaku moral politik yang kotor dan hanya mengitar disekitar orang dekat dan keluarga.

Berbagai pembangunan di Tangsel, kini dikuasai oleh sekelompok orang semata. Jatah kekuasaan Tangsel diisi oleh kalangan dekat penguasa, utamanya Banten Group yang berafiliasi kepada Gubernur Banten. Praktis, mayoritas kepala Dinas di Tangsel, adalah ’titipan’ daerah induk; Banten dan Tangerang.

Transformasi politik yang ’membebek’ tanpa sandaran rasionalitas membuat pembangunan Tangsel kerap terkendala. Kisruh antara daerah induk; Tangerang dengan Banten beberapa waktu lalu, kerap merugikan pelayanan masyarakat Tangsel.

Pengelolaan sampah misalnya. Belum adanya kejelasan pengelolaan sampah Tangsel yang sebelumnya diambil alih oleh Pemkab. Tangerang—hingga kini menumpuk tak karuan.

Pengeloaan yang seharusnya diambil alih oleh Tangsel, dibiarkan begitu saja. Parahnya, kondisi lingkungan Tangsel bak kota mati tanpa masa depan. Padahal, dalam UU No. 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan pasal 7 point j masalah lingkungan adalah persoalan wajib pemerintah Tangerang Selatan.

Faktanya, persoalan lingkungan hidup, justru dibiarkan tanpa jalan keluar yang tepat. Akibatnya, persoalan lingkungan hidup menjadi alat politik kandidat yang ’sexy’ tanpa solusi secara cepat.

Masyarakat berharap, praktik politisasi isu lingkungan hidup menjadi persoalan serius. Tidak hanya dijadikan ’lip service’ para kandidat. Namun, lebih kepada praktik politik yang nyata dan konkret.

Sayangnya, para kandidat sibuk memainkan citra. Dan gagal merealisasikannya secara nyata. Seolah, mereka ’akan’ bekerja ketika mendapat jabatan Walikota. Namun, untuk saat ini, tidak tertarik merealisasikan janjinya. Dalam konteks inilah keraguan itu bermunculan.

Masyarakat Tangsel membutuhkan lingkungan yang sesuai dengan norma kelayakan sebagai tempat tinggal. Bukan daerah yang dipenuhi dengan beton, sampah dan debu yang mencemari lingkungan sekitar mereka. Kondisi sosiologis masyarakat Tangsel yang sesungguhnnya urban, siang di Jakarta dan malam di Tangsel, adalah fakta. Karena itu, politik lingkungan sungguh sensitif untuk di kedepankan, namun, yang lebih penting bukti nyata berupa penyelesaiaan sampah yang terus menggenangi kota Tangsel.

Agar kota Tangsel terlihat indah dan nyaman. Beragam persoalan lingkungan harus menjadi misi bersama untuk Tangsel yang lebih baik dan nyaman sebagai tempat tinggal. Hal ini penting mengingat, Tangsel masih mendapat ancaman penurunan status sebagai daerah pemekaran yang independen. Apabila, beragam persoalan itu tidak diselesaikan, maka, pemekaran akan tinggal kenangan dan dikembalikan pada daerah induk untuk mengurusnya.

Menuju Kesejahteraan Tangsel

Pemerintah, sebagai jembatan menuju kesejahteraan masyarakat. Harus dipilih berdasarkan kompetensi. Dalam pilkada kota Tangsel, masyarakat akan melihat sepak terjang kandidat tersebut, utamanya bukti nyata mereka terhadap Tangsel. Pemimpin pilihan rakyat adalah mereka yang mampu mewibawakan pemerintah dan mengedepankan politik moral untuk menyudahi oligarki politik di Tangsel yang selama ini terjadi.

Kota Tangsel sebagai daerah pemekaran baru begitu rentan terhadap prilaku politik amoral. Kemajuan Tangsel yang seharusnya dapat dilakukan oleh pemerintah transisi, dianggap gagal, utamanya dalam masalah lingkungan dan kebersihan kota.

Pemimpin yang selanjutnya berkuasa, harus melihat kondisi ini. Praktik politik yang mengutamakan ’keluarga dan kelompok’ dalam pemerintahan dan proyek pembangunan, sesungguhnya telah mencederai amanah rakyat. Karena itu, masyarakat Tangsel akan sangat berhati-hati memilih pemimpin Tangsel ke depan. Kota Tangsel membutuhkan pemimpin yang mampu mengeluarkan monopoli kekuasaan dari pihak-pihak tertentu. Sebab, praktik politik yang selama ini berlaku, justru kian memperburuk kehidupan masyarakat. Oligarki kekuasaan, hanya melahirkan kekecewaan terhadap elit berkuasa yang rakus uang dan harta. Maka dari itu, pemimpin yang didukung oligarki kekuasaan yang tidak jujur, hanya menambah cacat demokrasi dalam pilkada Tangsel kali ini. Pemimpin yang mempunyai kedekatan, baik langsung atau tidak langsung—serta memiliki ’dosa politik’ yang cukup banyak, tidak pantas dipilih oleh masyarakat Tangsel. Oligarki kekuasaan, hanya akan memperburuk keadaan rakyat, dan mengubur kesejahteraan yang seharusnya diberikan. Inilah bentuk kesadaran politik masyarakat yang mengemuka dewasa ini.


Mencari Pemimpin Bermoral

Pemimpin bermoral, adalah individu yang sadar bahwa prilaku politik yang diisi keluarga dan kelompok menjadi ’benalu’ yang menganggu. Perjalanan politik dan pemerintahan kedepan, membutuhkan orang-orang yang profesional dan memiliki kredibilitas yang mumpuni.

Aparatur pemerintahan yang dilingkari dengan keluarga dan kelompok tertentu—hanya menambah persoalan di masa mendatang. Karena itu, agar Tangsel menjadi kota berperadaban, prilaku politik harus mengedepankan kedua hal ini.

Pertama, menyudahi oligarki politik. Musuh demokrasi selain kemiskinan ialah kekuasaan yang termonopolikan. Agar Tangsel menjadi kota terbuka, oligarki kekuasaan adalah ancaman serius yang harus dihentikan. Kedua, kepemimpinan yang profesional, tegas, cerdas dan tidak memiliki ’utang politis’ yang besar. Kepemimpinan yang bersandarkan pada kepentingan pemodal, akan menjadi persoalan dikemudian hari.

Modal politik yang dikeluarkan, tentu saja harus digantikan. Pendonor akan menagih ketika calon yang didukung keluar sebagai pemenangnya. Inilah fakta yang kerap terjadi. Dan, fakta inilah yang kini mengemuka dalam opini publik terhadap kandidat Walikota Tangsel. Karena itu, adalah bijak untuk cermat melihat pemimpin Tangsel kedepan. Dengan harapan, berbagai persoalan Tangsel dapat segera terselesaikan dengan baik, khususnya ketika kandidat yang menang mampu merealisasikan janji dan cita-citanya. Mari kita tunggu.***

Sumber :

http://tangerangnews.com/baca/2010/04/26/2520/pilkada-dan-politik-moral-di-tangsel

26 April 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar