Rabu, 17 November 2010

Sejarah Terbentuknya Kota Tangerang Selatan - Dari Kota Cipasera ke Kota Tangsel


Melihat daerah Ciputat yang terus menerus macet dan penuh sampah, serta wilayah Serpong, Pamulang yang kurang terurus, bagai daerah tak bertuan, sekelompok aktivis pada tahun 1999 menggagas perlunya daerah Ciputat, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren (Cipasera) menjadi daerah otonomi yang terpisah dari Kabupaten Tangerang. 

Berikut penuturan Basuki Rahardjo, yang dirangkum dan ditulis kembali oleh Tim Suar. Basuki Rahardjo adalah salah seorang penggagas pembentukan Kota Cipasera, tentang proses pembentukan Kota Cipasera yang kini menjadi Kota Tangsel.

Pada tahun 1999, Drs.Hidayat, seorang pegawai negeri sipil (PNS), Departemen Luar Negeri, Warga Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, mengajak lima orang teman dekatnya, Sunaryo Supardi, Ust. Muhari, Ust. Zubaidi Ahmad Saidi, Susetyohadi, dan MB Romsay, semuanya warga Kecamatan Pamulang, berkumpul, minum kopi di sebuah kedai.

Sambil menikmati segelas kopi hangat, para aktivisi itu berbincang tentang wilayah Cipasera yang perlu ada penataan dan pengelolaan, karena wilayah tersebut bagaikan wilayah tak bertuan (waktu itu). Kemacetan di pasar Ciputat yang tak pernah ada jalan keluar, sampah menggunung sampai ke jalan, penataan dan pengelolaan wilayah lemah, dan jarak dari wilayah Cipasera ke pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang di Tigaraksa yang jauh (± 50 km). 
Saat itu muncul pemikiran dari Hidayat dan teman- teman, bagaimana mengubah kondisi wilayah Kecamatan Ciputat, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren (Cipasera) menjadi daerah otonomi. Artinya wilayah Cipasera harus berstatus sebagai daerah kota otonom, terpisah dari Kabupaten Tangerang. Hal itu dimungkinkan berdasarkan UU no 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Hidayat mulai menulis artikel di harian Radar Tangerang, Media Indonesia dan Kompas, mempropagandakan wacana pemekaran daerah dan agar wilayah Cipasera dibentuk menjadi kota otonom yang terpisah dari Kabupaten Tangerang.

Melalui Lembaga swadaya masyarakat (LSM) SPOT yang dibentuk spontan ketika itu, mereka mulai bergerak. SPOT, artinya titik atau fokus ke satu masalah, yaitu masalah Otonomi Daerah. Hidayat memperluas wacana perjuangan dengan mengundang teman-teman lain: Slamet Priyono (Serpong), Basuki Rahardjo (Serpong), Achmad Yusuf (Pondok Aren), Yahya Padelang (Pondok Aren), Zaglul (Pamulang) untuk bergabung dalam sarasehan di rumah Susetyohadi, Villa Pamulang. 

Di dalam perbincangan, muncul usulan agar perjuangan membangun Cipasera jangan memakai baju LSM untuk menghindari dari praduga orang lain bahwa lembaga ini didanai oleh pihak tertentu. Dan gerakan pun meluas ke lintas golongan, lintas etnis, lintas agama, lintas partai, dan lintas profesi. 

Bukan hanya itu, perbincangan itu juga agar Kecamatan Pagedangan dan Cisauk masuk ke dalam rancangan Kota Cipasera, karena kalau bicara soal Serpong, disitu ada BSD yang wilayahnya pengembangannya sampai ke Kecamatan Pagedangan dan Cisauk. “Cepat atau lambat, kawasan tersebut akan menyatu menjadi satu dengan kawasan Cipasera,” kata Basuki ketika itu. 

Untuk memperkuat dan mempersatukan para aktivis yang ingin memperjuangkan pembentukan Kota Cipasera, perlu membentuk sebuah wadah. Dalam pertemuan, yang dihadiri Hadi Suhendar (Serpong), Basuki Rahardjo N, Slamet Priyono, disepakati membentuk Komite bernama Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera (KPPDO-KC). Komite ini diketuai Basuki Rahardjo dengan sekretaris Hidayat berdasarkan hasil pemilihan melalui voting one man one vote. 

Tanggal 16 September 2000 KPPDO-KC, mengundang wakil masyarakat dari enam Kecamatan (Kec.Ciputat,Cisauk, Pamulang, Pagedangan, Serpong, dan Pondok Aren), untuk mengukuhkan organisasi KPPDO-KC sebagai gerakan masyarakat yang memperjuangkan wilayah Cipasera menjadi daerah otonom kota.

Dalam pertemuan di rumah Zaglul di Jl.Talas no.45, Pondok Cabe, dihadiri tokoh-tokoh masyarakat Ciputat, antara lain, Alm. H Aini Umar (mantan Anggota DPRD Kabupaten Tangerang), muncul gagasan agar segera dibentuk kordinator wilayah (korwil) di masing-masing kecamatan selain perlu mensosialisasikan gagasan Kota Cipasera melalui media. Selain itu, perlu juga dibuat surat kepada kepala-kepala desa, anggota BPD, dan tokoh-tokoh masyarakat untuk minta dukungan dengan membubuhkan tanda tangan. 

Anggota KPPDO-KC disebar ke enam Kecamatan, mengumpulkan tanda tangan tokoh masyarakat. Dukungan tanda tangan dari para kepala desa hampir 100 %, kecuali kepala-kepala desa di Kecamatan Serpong. Namun, beberapa orang Kepala Desa di Kecamatan Serpong secara lisan menyatakan persetujuan. 

Berbekal dukungan tokoh masyarakat, KPPDO-KC mengirim surat kepada DPRD Kabupaten Tangerang agar mengakomodir aspirasi masyarakat. Surat pertama tidak ditanggapi, KPPDO-KC mengirimkan surat kedua, dibawa oleh ketua, diikuti oleh para pengurus. Rombongan diterima oleh Komisi A, diketuai oleh Norodom Sukarno (kemudian menjadi wakil Bupati Tangerang Periode 200-2008). 

KPPDO-KC menemui Komisi A DPRD Kabupaten Tangerang. Atas usulan Khamrin Ja’far (wakil Ketua Komisi A), KPPDO-KC diminta agar menemui fraksi-fraksi. KPPDO-KC beberapa kali mengirim surat kepada Ketua DPRD dan Bupati Tangerang (saat itu Agus Djunara), tetapi tidak pernah mendapat jawaban. 

Ketua KPPDO-KC menemui Ketua DPRD (H Dadang Kartasasmita) di rumah dinas, Citra Raya. Dadang mengatakan, pemekaran Kabupaten Tangerang belum saatnya. Karena kurang mendapat tanggapan dari DPRD Kabupaten Tangerang, KPPDO-KC me-lobby Komisi II DPR-RI, melalui Patrialis Akbar (Anggota Komisi II). KPDDP-KC meminta agar DPR-RI bisa mengakomodir aspirasi dengan menggunakan hak inisiatif DPR. 

Namun, Patrialis Akbar menyarankan, agar proses tetap berjalan sesuai prosedur (melalui persetujuan DPRD Kabupaten dan Bupati), agar tidak ada gejolak di masyarakat. Perjuangan KPPDO-KC untuk memperjuangkan terbentuknya Kota Cipasera menemui kendala dan hambatan. 

Tak ada kata menyerah dalam perjuangan. Langkah berikutnya ialah anggota KPPDO-KC meningkatkan intensitas sosialisasi dan penetrasi, antara lain lewat artikel-artikel di koran lokal dan nasional, spanduk-spanduk di berbagai penjuru wilayah Cipasera, menyebar pamplet-pamflet di berbagai tempat, menggelar seminar, dll. 

Tanggal 31 Maret 2002, KPPDO-KC menggelar Deklarasi Cipasera di Gedung Pusdiklat Departemen Agama, Ciputat. Dihadiri oleh masyarakat dengan jumlah lebih dari 1000 orang. Deklarasi juga mendapat pengawalan pasukan garda FKPP (Forum Komunikasi Pemuda Pagedangan). Acara diliput oleh media cetak dan elektronik baik lokal maupun nasional. Tiga hari Kemudian Ketua KPPDO-KC diundang oleh Stasiun televisi swasta, Metro TV, mengisi acara dialog interaktif. KPDDO-KC juga menerbitkan buku :”Kajian Awal, Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera”, ditulis oleh Basuki Rahardjo dan Hidayat.

Tahun 2004, jabatan sebagai Ketua KPPDO-KC dilepas oleh Basuki berkaitan ia terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Tangerang. Posisinya digantikan oleh Hidayat, sedangkan jabatan sekretaris diganti oleh Sanya Wiryareja. 

Membentuk Wadah Baru

Di tahun yang sama, Margiono, Komisaris Harian Rakyat Merdeka, berinisiatif mengumpulkan tokoh masyarakat beserta KPPDO-KC di gedung Puspiptek. Muncul pemikiran bahwa perjuangan organisasi ini akan dibuat wadah baru dan KPPDO-KC diminta melebur ke dalam wadah baru dengan nama Bakor (Badan Koordinasi) Cipasera.

Anggota KPPDO-KC menolak melebur ke dalam Bakor Cipasera walaupun banyak aktivis KPPDO-KC banyak yang ikut Bakor. Sikap ini mendapat simpati dari berbagai organisasi masayarakat. Antara lain Foksinu (Forum Silaturahmi Warga NU), Banteng Muda Pondok Aren, Banteng Muda Ciputat, Laskar Merah Putih, Pemuda Pancasila, Kamera, dll. Mereka ingin bergabung dengan KPPDO-KC. 

Dibentuklah aliansi antara ormas-ormas dengan KPPDO-KC dalam bentuk komisariat bersama (Komber) Cipasera yang diketuai dari masing-masing organisasi dan dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal, Hidayat (Ketua KPPDO-KC yang baru).

Dengan demikian, organisasi yang memperjuangkan terbentuknya kota Cipasera menjadi tiga: KPPDO-KC (sebagai pelopor), Bakor Cipasera, dan Komber Cipasera. Ketiga organisasi tersebut secara bergiliran membuat surat permohonan dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Kabupaten Tangerang. Masing-masing organisasi menyampaikan aspirasi masyarakat soal pembentukan Kota Cipasera.

Komisi A mendapat tantangan dan demo dari Laskar Islam Banten (LIB), Asosiasi Kepala Desa se Kabupaten Tangerang, dan Forum Masyarakat Membangun Tangerang Selatan (Format’s). Mereka memaksa kepada Komisi A untuk tidak mengakomodir aspirasi pembentukan Kota Cipasera.

Sebagai mantan Ketua KPPDO-KC dan sebagai anggota DPRD berinisiatif mengumpulkan tanda tangan dari anggota DPRD yang tidak se-fraksi sebanyak 15 orang, dan mengusulkan kepada Ketua DPRD agar Panitia Musyawarah mengagendakan pembentukan Panitia Musyawarah Pembentukan Kota Cipasera. Namun, hak usul ini tidak ditanggapi.

Basuki Rahardjo sebagai Sekretaris Komisi A menyusun naskah surat dari Komisi A kepada Ketua Panmus (ketua DPRD) yang berisi rekomendasi agar Panitia Musyawarah mengagendakan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Pemekaran Daerah. Surat ditandatangani oleh Daka Udin (Wakil Ketua Komisi A). 

“Pada rapat Panmus saya banyak ditentang oleh anggota Panmus lain. Mereka semua tidak setuju atas usulan pembentukan Pansus.” Kata Basuki.

Atas usulan Al Mansyur, anggota Panmus, diputuskan untuk mengundang Bupati terlebih dahulu. Padahal mendengar pendapat Bupati suatu hal yang salah kaprah. DPRD adalah sebuah lembaga independent, tidak dapat dipengaruhi oleh pendapat Bupati. Di dalam dengar pendapat, Bupati menyatakan setuju asalkan membentuk dua kota tapi itu tidak mungkin.

Panmus membentuk Pokja tentang pemekaran daerah (Pokja sebetulnya tidak dikenal di dalam tata tertib DPRD periode th 2004-2009). Perjalanan menjadi semakin panjang dan bertele-tele. Pokja kemudian menghasilkan kajian ilmiah dari Prof. DR. Sadu Wasistiono (Universitas Langlangbuana, Bandung) tentang pemekaran daerah Kabupaten Tangerang. 

Dan dalam rapat paripurna, anggota legislative mengusulkan beberapa nama untuk daerah pemekaran : 1. Kota Cipasera, 2. Kota Ciputat, 3. Kota Serpong, 4. Kota Lengkong, 6. Kota Tangerang Selatan. Dari hasil voting, terpilih nama Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Sedangkan batas wilayah berdasarkan hasil kajian Prof DR Sadu Wasistiono, mencakup Kec. Ciputat, Cisauk, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren. Berarti wilayah Cipasera minus Kec. Pagedangan. 

Sampai disini terdapat kontroversi mengenai hasil kajian Prof DR Sadu Wasistiono. Dalam hasil penelitiannya wilayah Kec.Pagedangan dipandang wilayah pedesaan secara ekonomi lambat tumbuh sehingga dianggap tidak perlu masuk wilayah Tangsel. Padahal wilayah tersebut merupakan wilayah pengembangan BSD tahap kedua.

Atas keputusan itu, anggota DPRD terpecah dua: yang mengikuti rekomendasi Prof Sadu Wasistiono (tanpa Kec.Pagedangan); dan yang mengikuti aspirasi masyarakat (dengan Kec. Pagedangan). Di dalam voting rapat paripurna, ternyata yang memilih tanpa Pagedangan lebih banyak. 

Sebagai langkah awal pembentukan Tangsel, Bupati Kabupaten Tangerang memekarkan Kec. Cisauk menjadi Kec. Cisauk dan Kec. Setu, Kec.Ciputat menjadi Kec. Ciputat dan Kec. Ciputat Timur, Kec.Serpong menjadi Kec. Serpong dan Kec. Serpong Utara. Untuk Kecamatan Cisauk setelah pemekaran, wilayahnya hanya berada di barat sungai Cisadane. Sedangkan sisanya yang berada di Timur Sungai Cisadane adalah wilayah Kec. Setu.

Bupati setuju dengan pemekaran dengan batas wilayah antara Kota Tangsel dengan Kabupaten Tangerang adalah sungai Cisadane. Kemudian Pansus dan presidium diundang untuk mendengar presentasi Prof DR Sadu Wasistiono. 

Di dalam presentasi, Prof DR Sadu Wasistiono meralat hasil kajian sendiri. Sebelumnya ia menyatakan bahwa yang paling layak masuk Kota Tangsel termasuk Kec.Cisauk. Tetapi di dalam presentasi tersebut ia menyatakan wilayah yang layak adalah yang dibatasi oleh sungai Cisadane, tidak termasuk Kec.Cisauk seperti hasil kajian semula.

Akhirnya dalam rapat paripurna ditetapkan pembentukan Kota Tangsel dengan batas wilayah Sungai Cisadane. Surat persetujuan DPRD dan Bupati kemudian diserahkan kepada Gubernur Provinsi Banten.

Gubernur Banten menyerahkan berkas-berkas kepada DPRD Propinsi Banten untuk dibahas. Atas persetujuan DPRD Provinsi, berkas tersebut disampaikan ke Komisi II DPR-RI, dibawa oleh Wakil Gubernur Banten bersama Bupati Kabupaten Tangerang dan Pansus Pemekaran Daerah DPRD Kabupaten Tangerang.

Akhirnya tanggal 29 September 2008 keluar UU nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangsel melalui Sidang Paripurna DPR-RI. Resmilah wilayah Kec. Setu, Kec. Serpong, Serpong Utara, Pondok Aren, Pamulang, Ciputat, dan Ciputat Timur bergabung dalam sebuah kota yang otonom bernama Kota Tangerang Selatan (Tim)

Sumber :

djokoloekitotrisantosa@yahoo.com, Swara Magazine

http://www.facebook.com/topic.php?uid=102927126355&topic=10262




Penanganan Sampah Tangsel Memprihatinkan

Salah satu masalah serius yang dihadapi Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sejak memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang pada tahun 2008 lalu adalah masalah sampah. Sebagai daerah pemekaran, Kota Tangsel tidak memiliki sarana dan prasarana penunjang untuk mengelola sampah secara maksimal.

Akibatnya, selama dua tahun terakhir ini, tumpukan sampah di sejumlah titik Kota Tangsel menjadi pemandangan sehari-hari yang mau tidak mau harus disaksikan warga Kota Tangsel sendiri. Tumpukan sampah itu hingga saat ini masih terlihat di Pasar Ciputat, Pasar Ciputat, Pasar Serpong, Pasar Jombang, Pasar Pamulang. Jalan Raya Serpong, Alam Sutra, dan Pondok Jagung.

Selain minimnya armada pengangkut sampah yang berjumlah sembilan unit, Kota Tangsel juga tidak memiliki TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah apalagi TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) yang memiliki teknologi ramah lingkungan. Sehingga, sampah Kota Tangsel itu harus dibuang di TPA atau TPST daerah lain yang tidak jarang menimbulkan konflik antar pemerintahan.

Airin Rachmi Diany, salah satu calon walikota Tangsel yang berpasangan dengan Benjamin Davnie, mengakui persoalan di Kota Tangsel tidak terlepas dari pembentukan Kota Tangsel itu sendiri sesuai Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008. Sejak saat itu, tidak seluruh aset – aset milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang yang ada di Kota Tangsel diserahkan kepada Pemerintah (Pemkot) Tangsel.

“Seluruh pasar tradisional yang ada di Kota Tangsel masih dikelola oleh Pemkab Tangerang,” ujar Airin saat mengunjungi kantor Republika, Jakarta, Rabu (4/11).

Menurutnya, pasar-pasar itu menghasilkan tumpukan sampah yang volumenya sangat besar. Namun, karena Pemkot Tangsel belum memiliki TPA maupun TPST, sampah itu tidak bisa dibuang ke dalam wilayah Kota Tangsel dan akhirnya menumpuk di pasar tersebut.

Menurutnya, pada saat seperti inilah hubungan baik antar pemerintah daerah diuji. Jika Pemkot Tangerang dan Pemkab Tangerang melakukan koordinasi penanganan sampah dengan baik, Airin yakin masalah tumpukan sampah dari pasar tradisional itu akan selesai. Artinya, sampah-sampah itu pada akhirnya akan dibuang ke TPA sampah milik Pemkab Tangerang.


Sumber :

Republika Online, 3 November 2010

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/10/11/03/144379-penanganan-sampah-tangsel-memprihatinkan



Pilkada dan Politik Moral di Tangsel

Studi Kasus: Pilkada Tangerang Selatan
RUDY GANI
Aktivis HMI BADKO JABOTABEKA BANTEN

Demokrasi memang memberikan kebebasan bagi seluruh rakyat. Namun, demokrasi tentu dibatasi dengan nilai-nilai. Tanpa adanya pembatasan terhadap nilai, utamanya moral individu tersebut, demokrasi justru akan tersesat dalam kegamangan karena moral pemimpin yang buruk.

Pertanyaanya, sejauh manakah masyarakat menganggap nilai moral sebagai sebuah hal mendasar? Jika, ditengah kemilau politik transaksional yang mengedepankan uang dan proyek mengemuka di masyarakat. Mampukah rakyat mengedepankan rasionalitas dalam memilih pemimpin bagi daerah mereka?

Dalam konteks pilkada Tangerang Selatan (Tangsel) misalnya. Kita mengetahui bahwa pola kepemimpinan dan sekaligus gaya politik Tangsel stagnan pada pencerahan. Fakta politik dinasti dan bagi-bagi ’proyek’ untuk lingkaran terdekat—adalah bukti jika hari ini gaya politik Tangsel kurang bermoral.

Padahal, pemikiran dasar pemekaran daerah Tangsel justru ingin menyudahi prilaku politik seperti itu. Sayangnya, dalam perjalanan, prilaku politik dan cita-cita yang diharapkan, dibajak oleh oknum penguasa yang tidak ingin gaya politik seperti itu selesai.

Maka, tidak heran jika hari ini Tangsel menghadapi persoalan serius akibat pembajakan politik tersebut. Masyarakat Tangsel dihadapkan pada persoalan prilaku moral politik yang kotor dan hanya mengitar disekitar orang dekat dan keluarga.

Berbagai pembangunan di Tangsel, kini dikuasai oleh sekelompok orang semata. Jatah kekuasaan Tangsel diisi oleh kalangan dekat penguasa, utamanya Banten Group yang berafiliasi kepada Gubernur Banten. Praktis, mayoritas kepala Dinas di Tangsel, adalah ’titipan’ daerah induk; Banten dan Tangerang.

Transformasi politik yang ’membebek’ tanpa sandaran rasionalitas membuat pembangunan Tangsel kerap terkendala. Kisruh antara daerah induk; Tangerang dengan Banten beberapa waktu lalu, kerap merugikan pelayanan masyarakat Tangsel.

Pengelolaan sampah misalnya. Belum adanya kejelasan pengelolaan sampah Tangsel yang sebelumnya diambil alih oleh Pemkab. Tangerang—hingga kini menumpuk tak karuan.

Pengeloaan yang seharusnya diambil alih oleh Tangsel, dibiarkan begitu saja. Parahnya, kondisi lingkungan Tangsel bak kota mati tanpa masa depan. Padahal, dalam UU No. 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan pasal 7 point j masalah lingkungan adalah persoalan wajib pemerintah Tangerang Selatan.

Faktanya, persoalan lingkungan hidup, justru dibiarkan tanpa jalan keluar yang tepat. Akibatnya, persoalan lingkungan hidup menjadi alat politik kandidat yang ’sexy’ tanpa solusi secara cepat.

Masyarakat berharap, praktik politisasi isu lingkungan hidup menjadi persoalan serius. Tidak hanya dijadikan ’lip service’ para kandidat. Namun, lebih kepada praktik politik yang nyata dan konkret.

Sayangnya, para kandidat sibuk memainkan citra. Dan gagal merealisasikannya secara nyata. Seolah, mereka ’akan’ bekerja ketika mendapat jabatan Walikota. Namun, untuk saat ini, tidak tertarik merealisasikan janjinya. Dalam konteks inilah keraguan itu bermunculan.

Masyarakat Tangsel membutuhkan lingkungan yang sesuai dengan norma kelayakan sebagai tempat tinggal. Bukan daerah yang dipenuhi dengan beton, sampah dan debu yang mencemari lingkungan sekitar mereka. Kondisi sosiologis masyarakat Tangsel yang sesungguhnnya urban, siang di Jakarta dan malam di Tangsel, adalah fakta. Karena itu, politik lingkungan sungguh sensitif untuk di kedepankan, namun, yang lebih penting bukti nyata berupa penyelesaiaan sampah yang terus menggenangi kota Tangsel.

Agar kota Tangsel terlihat indah dan nyaman. Beragam persoalan lingkungan harus menjadi misi bersama untuk Tangsel yang lebih baik dan nyaman sebagai tempat tinggal. Hal ini penting mengingat, Tangsel masih mendapat ancaman penurunan status sebagai daerah pemekaran yang independen. Apabila, beragam persoalan itu tidak diselesaikan, maka, pemekaran akan tinggal kenangan dan dikembalikan pada daerah induk untuk mengurusnya.

Menuju Kesejahteraan Tangsel

Pemerintah, sebagai jembatan menuju kesejahteraan masyarakat. Harus dipilih berdasarkan kompetensi. Dalam pilkada kota Tangsel, masyarakat akan melihat sepak terjang kandidat tersebut, utamanya bukti nyata mereka terhadap Tangsel. Pemimpin pilihan rakyat adalah mereka yang mampu mewibawakan pemerintah dan mengedepankan politik moral untuk menyudahi oligarki politik di Tangsel yang selama ini terjadi.

Kota Tangsel sebagai daerah pemekaran baru begitu rentan terhadap prilaku politik amoral. Kemajuan Tangsel yang seharusnya dapat dilakukan oleh pemerintah transisi, dianggap gagal, utamanya dalam masalah lingkungan dan kebersihan kota.

Pemimpin yang selanjutnya berkuasa, harus melihat kondisi ini. Praktik politik yang mengutamakan ’keluarga dan kelompok’ dalam pemerintahan dan proyek pembangunan, sesungguhnya telah mencederai amanah rakyat. Karena itu, masyarakat Tangsel akan sangat berhati-hati memilih pemimpin Tangsel ke depan. Kota Tangsel membutuhkan pemimpin yang mampu mengeluarkan monopoli kekuasaan dari pihak-pihak tertentu. Sebab, praktik politik yang selama ini berlaku, justru kian memperburuk kehidupan masyarakat. Oligarki kekuasaan, hanya melahirkan kekecewaan terhadap elit berkuasa yang rakus uang dan harta. Maka dari itu, pemimpin yang didukung oligarki kekuasaan yang tidak jujur, hanya menambah cacat demokrasi dalam pilkada Tangsel kali ini. Pemimpin yang mempunyai kedekatan, baik langsung atau tidak langsung—serta memiliki ’dosa politik’ yang cukup banyak, tidak pantas dipilih oleh masyarakat Tangsel. Oligarki kekuasaan, hanya akan memperburuk keadaan rakyat, dan mengubur kesejahteraan yang seharusnya diberikan. Inilah bentuk kesadaran politik masyarakat yang mengemuka dewasa ini.


Mencari Pemimpin Bermoral

Pemimpin bermoral, adalah individu yang sadar bahwa prilaku politik yang diisi keluarga dan kelompok menjadi ’benalu’ yang menganggu. Perjalanan politik dan pemerintahan kedepan, membutuhkan orang-orang yang profesional dan memiliki kredibilitas yang mumpuni.

Aparatur pemerintahan yang dilingkari dengan keluarga dan kelompok tertentu—hanya menambah persoalan di masa mendatang. Karena itu, agar Tangsel menjadi kota berperadaban, prilaku politik harus mengedepankan kedua hal ini.

Pertama, menyudahi oligarki politik. Musuh demokrasi selain kemiskinan ialah kekuasaan yang termonopolikan. Agar Tangsel menjadi kota terbuka, oligarki kekuasaan adalah ancaman serius yang harus dihentikan. Kedua, kepemimpinan yang profesional, tegas, cerdas dan tidak memiliki ’utang politis’ yang besar. Kepemimpinan yang bersandarkan pada kepentingan pemodal, akan menjadi persoalan dikemudian hari.

Modal politik yang dikeluarkan, tentu saja harus digantikan. Pendonor akan menagih ketika calon yang didukung keluar sebagai pemenangnya. Inilah fakta yang kerap terjadi. Dan, fakta inilah yang kini mengemuka dalam opini publik terhadap kandidat Walikota Tangsel. Karena itu, adalah bijak untuk cermat melihat pemimpin Tangsel kedepan. Dengan harapan, berbagai persoalan Tangsel dapat segera terselesaikan dengan baik, khususnya ketika kandidat yang menang mampu merealisasikan janji dan cita-citanya. Mari kita tunggu.***

Sumber :

http://tangerangnews.com/baca/2010/04/26/2520/pilkada-dan-politik-moral-di-tangsel

26 April 2010



Pemekaran Tangsel Perlu Diawasi Ketat

Pemekaran wilayah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) harus mendapat pengawasan yang ketat dari semua kalangan termasuk akademisi, LSM dan seniman.

Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya ketidakserasian antara tujuan pemekaran dengan hasil di lapangan. Demikian disampaikan pengamat politik yang juga dosen Universitas Indonesia Arbi Sanit saat berbicara dalam dialog publik Ada Apa di Balik Pembentukan Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang Utara yang diselenggarakan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi di Gedung Jiwasraya, Cikokol, Tangerang Selasa (15/7).

Merujuk pada pengalaman pemekaran di sejumlah daerah di Indonesia, kata Arbi sering dijumpai adanya ketimpangan antara harapan dan kenyataan. Pemekaran daerah yang mestinya bisa menyejahterakan rakyat setempat justru terjadi sebaliknya. Hal itu katanya, terjadi akibat disefisiensi penggunaan anggaran oleh elit-elit politik di daerah pemekaran tersebut.

Anggaran yang ada terutama yang dari pusat bukannya terdistribusi untuk masyarakat, tapi justru dinikmati oleh pejabat tertentu saja, kata Arbi.

Masih terkait proses pemekaran Tangerang Selatan, Arbi juga mengingatkan agar masyarakat mewaspadai terjadinya perilaku dari elit politik dan birokrat yang menempatkan elit politik dari daerah induk ke wilayah pemekaran. Jangan sampai aspirasi pembentukan Kota Tangsel yang semula berangkat dari aspirasi masyarakat dikalahkan oleh kepentingan elit. 

Untuk itu, mesti dilakukan persiapan yang matang termasuk menyiapkan cetak biru Kota Tangerang Selatan. Cetak biru Tangerang Selatan ke depan harus dipersiapkan secara matang, kata pengamat politik ini.

Tanda-tanda terjadinya pertarungan antara kepentingan elit dan masyarakat terkait pemekaran Kota Tangsel, kata Arbi sebetulnya sudah terlihat dari istilah nama calon kota baru itu. Aspirasi masyarakat yang sebelumnya menginginkan nama Cipasera, tapi belakangan berganti nama menjadi Kota Tangesel.

Padahal dilihat dari sisi historis, sosiologi, politis dan ekonomis nama Cipasera itu lebih pas dibanding Tangerang Selatan, tandas pengamat politik berkuncir ini.(afu)


Sumber :

http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=28881

16 Juli 2008





Potensi Ekonomi Tangerang Selatan Terus Tumbuh

Dewan Integrasi Daerah (DID) melihat Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Tangerang Selatan (Tangsel) Agustus mendatang, akan sangat berbeda mengingat potensi ekonomi dan tiga kekuatan dinasti incumbent (pemegang jabatan) di Pemerintahan. Potensi ekonomi dan bisnis Tangsel adalah berbagai perumahan elit seperti Bintaro, Bumi Serpong Damai (BSD), dan lain sebagainya. Selain itu, Tangsel sejak diresmikan awal tahun 2009 sudah diproyeksikan menjadi pusat perguruan tinggi swasta nasional dan internasional. "Karakter Tangsel sangat unik, karena secara geografis merupakan pinggiran kota Jakarta. Tetapi dua perumahan besar, Bintaro dan BSD terus berkembang menjadi kota satelit selain pusat industri, bisnis dan perdagangan. Sehingga Pilkada Agustus mendatang harus dibarengi dengan kualitas calon Walikotanya melalui mekanisme Pilkada yang bersih, profesional dan terbuka," Lieus Sungkharisma, Ketua DID mengatakan kepada Business News Rabu. (7/7).

Universitas swasta yang bertaraf internasional, seperti SGU (Swiss German University), dan yang nasional, rn. Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN), dan lain sebagainya. Keunikan lain, yaitu sekitar 1.200.000 (satu juta dua ratus ribu) penduduknya yang heterogen, dari berbagai suku dan daerah di Indonesia. "Kebetulan politisi perempuan Marissa Haque juga penduduk Tangsel. Dia juga akan menjadi salah satu panelis DID untuk rekrutmen tujuh bakal calon untuk bertarung di Pilkada Agustus mendatang".

DID juga merasa perlu menyoroti prinsip profesional, bersih dan transparan, mengingat adanya tiga dinasti yang ikut dalam pertarungan Pilkada. Ketiga dinasti tersebut yaitu Saudara sepupu Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, adik kandung anggota Wantimpres dan mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan sepupu Menko Perekonomian

Hatta Rajasa. "Tiga figur tersebut masih memerintah, dan jelas ada upaya untuk menjadikan Tangsel sebagai batu loncatan, ataupun penguatan kekuasaan,". Hal ini juga semakin kentara, karena Hassan Wirajuda juga merupakan kakak kandung Walikota Tangerang Wahidin Halim yang masih menjabat sekarang.

"Jadi DID melihat Pilkada Tangsel ini sangat berbeda, di mana selain menjadi momentum untuk mendobrak tradisi penurunan atau perkuatan kekuasaan, tetapi juga keberanian DID untuk menyelenggarakan rekrutmen bakal calon perorangan di Pilkada mendatang".

Kalau nanti, ternyata rekrutment DID berhasil dengan calon perorangan tanpa melalui partai politik dan pengaruh kuasa incumbent, tidak tertutup kemungkinan potensi ekonomi Tangsel akan semakin nyata dengan leadership (kepemimpinan) yang bersih, profesional dan terbuka. "Karena memang, filosofi DID adalah mengusung pemerintahan yang bersih, profesional, dan transparan/ terbuka. Selain karakter dan kondisi geografis Tangsel yang selalu akan terus berkembang seperti kota satelit".

Kota Tangsel berbatasan dengan DKI Jakarta di sebelah timurnya, sebelah barat berbatasan dengan kabupaten induk Tangerang, sebelah utara dengan Kota Tangerang, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Depok dan Bogor, Jawa Barat.

Kondisi eksisting Badan Tenaga Atom (Batan) di Puspitek Serpong, sekarang ini belum menjadi andalan dibandingkan dengan berbagai perumahan elit termasuk BSD, Bintaro. Hal mi dianggap wajar mengingat, dari BSD dan Bintaro, perputaran uang relatif tinggi. Aktivitas bisnis dan perdagangan di BSD juga semakin hari semakin meningkat Selain, kota yang bersebelahan dengan Tangsel juga berkembang terus. "Sekarang tinggal bagaimana Pilkada Agustus mendatang bisa melahirkan seorang walikota yang tinggal menggelembungkan potensi ekonomi Tangsel". (SL)


Sumber : 

Business News,  9 Juli 2010, dalam :

http://bataviase.co.id/node/289942



8 Situ Di Tanqsel Rusak

Sedikitnya delapan situ (danau) di seputar Kota Tangerang Selatan (Tangsel) kini makin mengecil dan rusak lantaran banyak berubah fungsi menjadi area permukiman.

Selain itu banyak area situ yang berubah menjadi pusat perbelanjaan yang tidak memperhatikan efek lingkungan karena tidak memenuhi standar analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

"Padahal pascapemekaran dari Kabupaten Tangerang, Kota Tangsel adalah salah satu daerah penyangga Ibu Kota Jakarta," tutur Kembara Insani Ibnu Batutah, penggiat dari Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan dan Kemanusiaan (KMPLHK).

Repotnya, lanjutnya, masih banyak bangunan yang diizinkan didirikan di bantaran situ. "Kondisi situ sangat kumuh, kurang mendapat perbaikan sehingga memicu ancaman banjir," katanya, kemarin.

Kedelapan situ tersebut a.l. Situ Bungur, Parigi, Pamulang, Ciledug, Legoso, Rompong, Kayu Antap, dan Gintung.

Sebaliknya rusaknya berbagai situ tersebut juga berdampak terhadap ancaman kekeringan karena merupakan kawasan resapan air.(BI SNI SJ KU)


Sumber :

Bisnis Indonesia, 29 Juli 2010, dalam :

http://bataviase.co.id/node/316469




Magnet Baru Bernama Tangerang Selatan

Oleh Anjar Fahmiarto

Wilayahnya masih terus berkembang, harga dan nilai propertinya akan terus naik.

Pembangunan perumahan di hampir semua kecamatan di Tangerang Selatan sedang marak. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Tangerang Selatan, ada sekitar 192 perumahan berskala kecil hingga besar yang sedang dikembangkan. Sebagian besar pengembangan berada di Serpong, Pamulang, Ciputat, dan Pondok Aren.

Tangerang Selatan, yang resmi berdiri pada 27 Desember 2008, merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Kota baru ini terdiri atas tujuh kecamatan, yaitu Ciputat, Ciputat Utara, Pondok Aren, Serpong, Serpong Timur, Pamulang, dan Setu.

Di Serpong ada sejumlah proyek perumahan skala besar. Di antaranya Bumi Serpong Damai (BSD) City, Alam Sutera, Summarecon Serpong, Paramount Serpong, dan Villa Melati Mas.

Di Pamulang perumahan-perumahanbaru skala menengah dan besar juga sedang dibangun dan dikembangkan, seperti Serpong City Paradise, Bumi Serpong Residence, Bukit Dago, Villa Dago, Green Serpong, Serpong Green Park, Cendana Residence, dan sebagainya.

Salah satu kelebihan Tangerang Selatan adalah infrastrukturnya yang cukup bagus dibandingkan yang lain. Wilayah ini bisa dijangkau dari dua ruas tol, yaitu Jakarta-Merak dan Jakarta-Serpong. Ini ditambah dengan beroperasinya tol JORR W II yang melintas dari Pondok Pinang hingga ke BSD City.

Akses itu akan makin lengkap jika rencana pembangunan ruas tol "Serpong- Bandara bisa direalisasikan.

Dari sisi moda transportasi wilayah

Tangerang Selatan juga cukup lengkap, mulai dari angkutan umum hingga kereta api. BSD City, misalnya, di bagian timur dibelah jalur utama Serpong. Sedangkan bagian barat, yang masuk Kecamatan Cisauk, berdekatan dengan Stasiun KeretaApi Cisauk. Warga perumahan dapat memanfaatkan KRL Cisauk menuju tempat mereka bekerja di Jakarta.

Para pengguna kendaraan pribadi juga bakal dimanjakan dengan jalan tol seksi Serpong-Balaraja yang telah dicanangkan Pemerintah Kabupaten Tangerang untuk dibangun. Jalur ini merupakan interkoneksi antarwilayah Kabupaen Tangerang Selatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang di Tigaraksa.

Manajer Riset perusahaan riset dan konsultan properti Jones Lang Lasalle, Anton Sitorus, mengatakan, infrastruktur yang baik di wilayah Tangerang Selatan menjadi daya tarik utama bagi para pengembang.

"Dari dulu wilayah Tangerang Selatan, khususnya Serpong dan Bintaro, memang sudah berkembang pesat. Kalau sekarang perkembangan-nya makin bagus ya sangat wajar. Apalagi infrastruktur di sana memadai," kata Anton kepada Republika, Rabu

(1/9).

Menurutnya, dibandingkan wilayah timur seperti Bekasi, Tangerang memang lebih maju. "Secara infrastruktur mungkin sama namun secara eco demografi dan image Tangerang lebih unggul," lanjutnya. Apalagi wilayah ini dekat dengan Bandara Soekarno Hatta. Untuk residensial akses dekat ke bandara menjadi daya tarik tersendiri.

Daya tarik

Pendapat sama disampaikan Direktur Eksekutif Century21 Indonesia, Hendry Tamzel, yang menyebut perkembangan properti di Tangerang Selatan menakjubkan. Para pengembang seolah berlomba-lomba membangun proyek properti di wilayah ini. "Tangerang Selatan, terutama Serpong, bisa dikatakan daerah paling hot perkembangan propertinya," katanya.

Karena itu, lanjut Hendry, Century 21 secara serius menggarap pasar properti di wilayah ini dengan mendirikan beberapa kantor baru. "Di Serpong kami punya beberapa kantor. Istilahnya kami mengepung wilayah ini dari berbagai penjuru karena memang perkembangannya sangat bagus," tuturpya.

Tangerang Selatan, kata Corporate Communications Senior Manager PT BSD Tbk, Idham Muchlis, akan terus mengalami perkembangan. Berbagai kelebihan dan potensi tersebut menjadi daya tarik untuk investasi properti. Karena itu, membeli properti di Tangerang Selatan akan menguntungkan. Nilainya akan terus naik.

Ini berbeda dengan properti di wilayah yang sudah mapan yang cenderung stagnan. Di Tangerang Selatan, karena wilayahnya masih terus berkembang, harga dan nilai propertinya juga akan terus bergerak naik. Dari sisi investasi ini tentu menguntungkan.

ed Christina purwaningsih

Sumber :

Republika, 3 September 2010, dalam :

http://bataviase.co.id/node/370226